Penulis: Zacharias Simon Febby, S.AP
OPINI | Lintas-Pulau.com : Di tengah maraknya investasi tambang yang merambah kawasan timur Indonesia, aktivitas PT Batulicin di Desa Nerong dan Desa Mataholat, Kabupaten Maluku Tenggara, itu menyimpan persoalan krusial yang belum sepenuhnya tersorot. Meski perusahaan telah mengantongi dokumen sah seperti NIB, WIUP, dan IUP untuk pertambangan batu kapur, legalitas administratif tersebut tidak serta-merta menjamin kepatuhan terhadap prinsip keberlanjutan lingkungan dan tata ruang yang menjadi ruh pembangunan nasional.
PT BBA disebut mengoperasikan tambang batu kapur seluas 90,82 hektar dengan durasi kontrak selama 15 tahun dan bahkan merencanakan ekspansi hingga 500 hektar. Angka ini mengundang tanda tanya besar: Apakah lingkungan kita siap menanggung beban ekologis dari eksploitasi sebesar ini? Apakah masyarakat setempat telah benar-benar memahami dampaknya?
Legalitas dan Tata Ruang: Izin Tak Menjamin Kesesuaian
Dalam konteks hukum, UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang secara tegas melarang pemanfaatan ruang yang bertentangan dengan rencana tata ruang. Artinya, jika Desa Nerong dan Mataholat tidak tercantum dalam zona pertambangan sesuai RTRW Maluku Tenggara maupun RZWP3K Provinsi Maluku, maka kegiatan tambang yang dilakukan PT BBA bisa dikategorikan sebagai pelanggaran hukum tata ruang. Tak hanya sanksi administratif, pelanggaran ini juga berpotensi menimbulkan konsekuensi pidana sebagaimana diatur dalam UU No. 3 Tahun 2020 tentang Minerba, Pasal 158: pidana 5 tahun penjara dan denda maksimal Rp100 miliar bagi yang menjalankan usaha pertambangan tanpa izin sah.
Batu Kapur: Material Ekonomi dengan Risiko Ekologis Tinggi
Batu kapur memang komoditas strategis dalam industri konstruksi dan semen. Namun, penggaliannya dikenal memiliki risiko tinggi terhadap lingkungan. Penebangan vegetasi, pembongkaran lapisan tanah, hingga kerusakan ekosistem karst, menjadi konsekuensi langsung dari aktivitas ini. Tidak jarang, eksploitasi batu kapur menyebabkan pencemaran air tanah, mengganggu aliran sungai dan merusak habitat alami flora dan fauna.
Belum lagi potensi longsor, hilangnya tutupan lahan, dan kerusakan bentang alam yang bisa menjadi bom waktu di masa depan. Untuk wilayah pesisir dan kepulauan kecil seperti Malra, daya dukung lingkungan jauh lebih rapuh. Karena itu, proyek dengan risiko tinggi seperti ini wajib dilengkapi dokumen AMDAL yang memadai dan bukan sekadar formalitas.
Pengangkutan dan PKKPRL: Legalitas di Zona Laut
Proses pengangkutan batu kapur oleh PT BBA menuju Papua menggunakan kapal tongkang juga memerlukan PKKPRL (Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut). Ketentuan ini diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2021. Pertanyaannya: apakah dermaga, pelabuhan, atau jetty yang digunakan masuk dalam zona pelabuhan menurut peta RZWP3K? Jika tidak, kegiatan ini juga berpotensi melanggar hukum dan merusak garis pantai yang menjadi benteng alami wilayah pesisir.
ESG dan Kewajiban Sosialisasi: Jangan Cuma di Atas Kertas
Perusahaan pertambangan modern wajib menerapkan prinsip ESG (Environmental, Social, and Governance) secara menyeluruh. Namun sayangnya, banyak perusahaan hanya menjadikan ESG sebagai formalitas dalam dokumen, tanpa implementasi nyata. Sosialisasi kepada masyarakat, konsultasi publik, dan transparansi dokumen AMDAL kerap diabaikan. Ini bertentangan dengan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menggariskan pentingnya keterlibatan masyarakat dalam setiap tahap perencanaan proyek berdampak besar.
Peran Pemerintah Desa: Jangan Sampai Dibisukan
Pemerintah desa sebagai pemegang otoritas lokal harus dilibatkan secara penuh. Mereka wajib diberi akses dan pemahaman atas dokumen seperti WIUP dan jaminan kesungguhan eksplorasi. Bila perusahaan hanya membangun relasi administratif tanpa partisipasi aktif dari desa, maka ini membuka ruang konflik sosial dan ketidakpercayaan publik yang berkepanjangan.
Potensi Pelanggaran NIB: Bukan Sekadar Angkut Barang
Perlu diperhatikan, jenis material yang ditambang dan diangkut wajib sesuai dengan daftar bidang usaha dalam NIB perusahaan. Jika ditemukan material lain yang tidak tercantum, itu bisa dianggap sebagai pelanggaran perizinan usaha dan dapat dikenai sanksi sesuai Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2021 tentang Perizinan Berbasis Risiko.
Kontribusi PAD: Masih Jauh dari Harapan?
Meskipun pajak mineral bukan logam masuk dalam kewenangan Pemkab Maluku Tenggara, penetapan harga dasar yang digunakan justru mengikuti tarif provinsi. Ini mengindikasikan ketidaksinkronan antara otoritas lokal dan pusat. Potensi PAD dari aktivitas tambang semestinya bisa dimaksimalkan jika disertai pengawasan ketat, transparansi volume produksi, dan integritas dalam pelaporan pajak.
Penutup: Cek Realita di Lapangan, Bukan Hanya Dokumen
Kisah tambang selalu identik dengan janji ekonomi, namun sejarah menunjukkan bahwa janji tersebut kerap tidak sebanding dengan kerusakan yang ditinggalkan. Maka publik, LSM lingkungan seperti WALHI dan Greenpeace, serta otoritas pengawasan pusat harus lebih kritis terhadap aktivitas seperti yang dilakukan PT BBA.
Sudah saatnya kebijakan lingkungan tak hanya diukur dari seberapa lengkap dokumen yang dimiliki perusahaan, tapi seberapa nyata komitmen mereka menjaga keberlanjutan hidup masyarakat dan ekosistem. Jika tidak, maka legalitas hanyalah tameng, dan lingkungan akan menjadi korban bisu dari sistem yang lebih mementingkan eksploitasi ketimbang regenerasi.