![]() |
TUAL | Lintas-Pulau.com : Lagi-lagi dentuman bom memecah kedamaian pagi di perairan Tayando Yamru. Sekitar pukul 07.00 WIT, suara ledakan terdengar keras dari laut bukan karena petasan perayaan, tetapi karena aksi kriminal brutal yang sudah terlalu sering terjadi yakni pengeboman ikan.
“Ini bukan kejadian baru. Ini adalah kejahatan lama yang terus dibiarkan. Masyarakat sudah hafal siapa pelakunya, aparat pun bukan tak tahu,” ungkap Sahrul Renhoat, tokoh muda Kota Tual asal Tayando, kepada Media ini Rabu, (18/6/2025).
“Namun sayang, hukum di laut seolah lumpuh. Pelaku pengeboman berkeliaran bebas, sementara ekosistem laut hancur dan nelayan kecil kehilangan harapan,” sambungnya.
Terkait praktik penangkapan ikan yang merusak itu Dia tak tinggal diam. Dalam pernyataan kerasnya, ia mendesak aparat penegak hukum untuk tidak lagi main aman dan segera bertindak.
“Sudah cukup! Ini bukan sekadar pelanggaran kecil. Ini kejahatan lingkungan! Tangkap dan proses para pelaku sekarang juga. Jangan tunggu sampai laut benar-benar mati baru semua menyesal!” tegas Renhoat.
Kejahatan Ekologis yang Diabaikan
Pengeboman ikan adalah cara tercepat merusak laut. Bom meledak, ikan dewasa mati, telur dan larva ikut hancur. Terumbu karang yang butuh puluhan tahun untuk tumbuh lenyap dalam hitungan detik.
Ia mempertanyakan siapa yang paling dirugikan? Menurut Dia bukan pelaku. Tapi nelayan kecil, anak-anak mereka, dan masa depan pesisir Maluku Tenggara dan Kota Tual Hukum Sudah Ada, Tapi Siapa yang Berani Menegakkannya?
Renhoat mengingatkan bahwa hukum Indonesia sudah sangat jelas. Pengeboman ikan diatur dalam, Pasal 84 UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (diubah dengan UU No. 45 Tahun 2009): Pidana 6 tahun penjara dan denda hingga Rp1,2 miliar.
Selanjutnya, UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
“Jangan berdalih lagi. Undang-undangnya lengkap. Yang kurang hanya keberanian dan kemauan menegakkan hukum secara tegas,” ujar Renhoat geram.
Solusi Nyata untuk Masyarakat, Bukan Sekadar Tindakan Reaktif
Renhoat juga menyoroti aspek ekonomi sebagai akar masalah. Banyak nelayan terpaksa menjadi pelaku karena tidak punya pilihan hidup. Maka, selain penindakan, pemerintah harus hadir dengan solusi konkret.
Ia contohkan seperti program budidaya laut (aquaculture) berkelanjutan, Pelatihan keterampilan ramah lingkungan, Pemberdayaan ekonomi pesisir, dan Edukasi lingkungan sejak usia dini.
“Jangan cuma larang, tapi juga beri jalan keluar. Jika masyarakat diberi pilihan hidup yang layak, mereka pasti akan memilih cara yang benar,” tambahnya.
Ajakan untuk Bersatu: Jaga Laut Kei Sekarang!
Kepada semua pihak Pemerintah Kota Tual, Pemprov Maluku, DKP, TNI AL, POLAIRUD, LSM, tokoh adat, tokoh agama, dan pemuda, Renhoat menyerukan seruan tegas.
“Laut bukan untuk dibom, tapi untuk dijaga. Ini bukan sekadar masalah Tayando. Ini soal masa depan kita semua di Kepulauan Kei. Stop pengeboman ikan sekarang juga!” pungkasnya.