Strategi Sistematis Perusahaan Membungkam Publik atas Nama Ekonomi Masyarakat Lokal



Oleh : Zacharias Zimon Febby, S.AP

OPINI | Lintas-Pulau.com : Dalam beberapa tahun terakhir, kita menyaksikan pola yang cukup mengkhawatirkan dalam praktik-praktik komunikasi perusahaan tambang di Indonesia. Di tengah sorotan publik terhadap kerusakan lingkungan akibat aktivitas penambangan, sejumlah perusahaan tampak menerapkan strategi sistematis untuk meredam kritik dan mengontrol opini publik bukan dengan transparansi data, melainkan dengan membentuk narasi tandingan yang cenderung manipulatif.

Foto Istimewa | Zacharias Zimon Febby, S.AP

Strategi Penggiringan Opini: Mengatasnamakan Masyarakat Lokal

Salah satu strategi umum yang digunakan adalah melibatkan tokoh-tokoh lokal, oknum, atau kelompok desa tertentu untuk menyuarakan pembelaan terhadap perusahaan di media. Mereka mengklaim bahwa aktivitas penambangan tidak menimbulkan keresahan masyarakat, bahkan disebut-sebut membawa manfaat ekonomi seperti lapangan kerja, pembangunan desa, dan bantuan sosial.

Namun narasi ini kerap tidak berdasar pada data pembanding yang objektif. Seringkali, tidak tersedia informasi yang jelas mengenai:

Berapa jumlah tenaga kerja lokal yang benar-benar terserap?

Apakah pendapatan warga meningkat signifikan dan merata?

Apa bentuk nyata dari kontribusi sosial dan lingkungan perusahaan?

Tanpa indikator yang jelas dan audit independen, klaim seperti ini hanya berfungsi untuk membungkam kritik masyarakat luas, mengaburkan fakta tentang kerusakan jangka panjang terhadap ekosistem, dan menciptakan ilusi bahwa perusahaan telah menjalankan tanggung jawab sosialnya dengan baik.

Manipulasi atas Nama Ekonomi dan Pembangunan

Pembelaan terhadap perusahaan tambang sering mengangkat isu ekonomi: masyarakat mendapatkan penghasilan, desa mengalami pembangunan, dan roda perekonomian lokal bergerak. Namun, ini adalah narasi parsial yang menutupi realitas lingkungan:

Kerusakan sumber air bersih, Hilangnya mata pencaharian tradisional seperti berkebun dan melaut, Kerentanan terhadap bencana ekologis seperti banjir dan longsor, Degradasi tanah dan biodiversitas.

Alih-alih memberdayakan masyarakat secara berkelanjutan, perusahaan kerap memberikan kompensasi jangka pendek yang sebenarnya tidak sebanding dengan dampak ekologis yang ditimbulkan.

Hak dan Tanggung Jawab Kolektif Menjaga Lingkungan

Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, perlindungan lingkungan bukan hanya menjadi tanggung jawab masyarakat yang tinggal di sekitar wilayah tambang. Setiap warga negara berhak dan berkewajiban menjaga lingkungan hidup, tanpa terkecuali. Ini dijamin dalam :

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH), Pasal 65 ayat (1) dan (2):

(1) Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia.

(2) Setiap orang berhak atas akses informasi, partisipasi, dan keadilan dalam pengelolaan lingkungan hidup.

Pasal 67 UU PPLH menegaskan: Setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.

Artinya, keberatan masyarakat dari luar wilayah tambang terhadap suatu aktivitas penambangan sah dan dilindungi hukum, selama didasarkan pada hak atas lingkungan hidup dan partisipasi publik. Tidak ada satu pun desa atau kelompok yang berhak memonopoli opini atau menyatakan bahwa publik tidak berhak mengkritik, hanya karena lokasi tambang berada di tanah adat mereka.

Transparansi Amdal dan Keterbukaan Informasi

Masalah lainnya adalah kerap tertutupnya dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Padahal, Pasal 37 UU PPLH dan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menegaskan bahwa AMDAL adalah dokumen publik yang wajib disusun secara partisipatif dan dapat diakses masyarakat.

Ketertutupan dokumen Amdal hanya memperkuat asumsi bahwa perusahaan menyembunyikan potensi kerusakan jangka panjang terhadap lingkungan. Bila transparansi ditegakkan, narasi tunggal yang mengklaim bahwa "tidak ada keresahan masyarakat" bisa diuji dan diverifikasi oleh data ilmiah dan masukan masyarakat luas.

Penutup: Kepentingan Publik Lebih Besar dari Sekadar Kompensasi

Dalam negara hukum yang demokratis, tidak boleh ada praktik pembungkaman atas nama kesejahteraan lokal jika itu mengorbankan keberlanjutan lingkungan jangka panjang. Mengabaikan dampak ekologis demi kepentingan jangka pendek adalah pengkhianatan terhadap generasi mendatang.

Perusahaan yang benar-benar bertanggung jawab seharusnya mendorong keterbukaan, audit independen, dan pelibatan masyarakat luas dalam pemantauan dampak lingkungan. Bukan menciptakan ilusi kesepakatan lewat oknum atau kelompok yang diposisikan sebagai wakil suara publik.