Menggugat Ketimpangan: Dampak Kebijakan Pertambangan dan Agribisnis terhadap Hak Tanah dan Sumber Daya Perempuan Kei


Oleh: Fransina M. B. Rahaor, SH., MH. 

OPINI | Lintas-Pulau.com : Kepulauan Kei, yang dikenal dengan keindahan alam dan kekayaan hayatinya, kini menghadapi tantangan besar di tengah geliat investasi sektor pertambangan dan agribisnis. Siapa yang paling terdampak? Jawabannya, bukan hanya masyarakat adat secara umum, melainkan perempuan Kei secara khusus. Kebijakan yang mendorong ekspansi sektor ekstraktif ini seringkali mengabaikan peran dan hak-hak perempuan dalam pengelolaan tanah dan sumber daya alam yang telah mereka jaga selama berabad-abad.

Siapa Perempuan Kei dan Apa Perannya dalam Pengelolaan Sumber Daya?

Perempuan Kei bukan sekadar pendamping dalam keluarga atau penopang ekonomi domestik. Mereka adalah penjaga pengetahuan lokal, pelindung warisan budaya, dan aktor utama dalam aktivitas pertanian, perikanan pesisir, pengumpulan hasil hutan, hingga pengelolaan air bersih. Dalam banyak komunitas adat Kei, meskipun struktur pengambilan keputusan cenderung dikuasai laki-laki, warisan dan pengelolaan tanah kerap melibatkan perempuan secara aktif dan bahkan simbolik.

"Perempuan Kei adalah wajah dari keberlanjutan lokal. Mereka tidak hanya hidup dari tanah dan laut, tetapi hidup bersama tanah dan laut itu sendiri," ungkap beberapa tokoh perempuan adat dalam berbagai forum komunitas.

Apa Dampak Kebijakan Pertambangan dan Agribisnis terhadap Perempuan?

Kebijakan pemerintah yang memfasilitasi proyek-proyek tambang (seperti nikel dan bauksit) serta agribisnis berskala besar (seperti kelapa sawit dan perkebunan monokultur) mengancam keberlangsungan hidup dan identitas budaya masyarakat Kei, terlebih kaum perempuan.

1. Penggusuran dan Hilangnya Akses terhadap Tanah Ulayat

Ketika lahan ulayat dialihfungsikan, perempuan kehilangan kebun, ladang, bahkan sumber air yang menjadi penopang pangan keluarga. Ini bukan sekadar kehilangan ekonomi, melainkan hilangnya akar identitas, spiritualitas, dan relasi sosial yang telah lama terbangun.

2. Kerusakan Ekologi yang Menyasar Kehidupan Sehari-hari

Aktivitas tambang menyebabkan pencemaran air dan deforestasi; sedangkan perkebunan monokultur mengurangi biodiversitas. Akibatnya, perempuan harus mencari sumber pangan lebih jauh dan menghabiskan lebih banyak waktu dalam aktivitas reproduktif dan ekonomi yang sebelumnya mudah diakses.

3. Perubahan Sosial dan Beban Ganda Perempuan

Hadirnya tenaga kerja migran dan industri skala besar juga memicu masalah sosial baru, termasuk kekerasan berbasis gender, konflik lahan, dan hilangnya ruang aman perempuan dalam komunitas.

4. Minimnya Ruang Partisipasi dalam Pengambilan Keputusan

Ironisnya, proyek-proyek tersebut kerap diputuskan tanpa konsultasi yang inklusif. Proses seperti AMDAL atau musyawarah adat acap kali mengesampingkan suara perempuan, meskipun mereka paling terdampak oleh proyek-proyek tersebut. Prinsip PADI/FPIC (Persetujuan Atas Dasar Informasi di Awal dan Tanpa Paksaan) sering hanya menjadi formalitas tanpa makna substantif.

Bagaimana dengan Kerangka Hukum yang Ada?

Secara hukum, Indonesia telah menyediakan beberapa perangkat regulasi yang mengakui hak masyarakat adat dan perlindungan lingkungan. Namun, bagaimana implementasinya?

UUD 1945 Pasal 33 Ayat (3) menyatakan bahwa kekayaan alam dikuasai negara untuk kemakmuran rakyat. Tetapi dalam praktik, interpretasi ini sering melegitimasi eksploitasi sumber daya tanpa memperhitungkan hak adat.

UU No. 5 Tahun 1960 (UUPA) dan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa memberikan pengakuan terhadap hak ulayat dan kewenangan desa, namun implementasinya di lapangan masih lemah, bersyarat, dan sering kalah oleh kepentingan investasi.

Permen ATR/BPN No. 10 Tahun 2016 tentang hak komunal masyarakat adat menjadi langkah maju, tetapi prosedur yang rumit membuat masyarakat terutama perempuan sulit mendapat pengakuan resmi.

Mengapa Kita Harus Peduli?

Karena ini bukan hanya soal tanah atau proyek ekonomi. Ini adalah soal keadilan, keberlanjutan, dan masa depan generasi Kei. Jika suara perempuan diredam, hak atas tanah dicabut, dan alam dieksploitasi tanpa kendali, maka yang hilang bukan hanya hutan atau laut, melainkan jati diri dan keberlanjutan masyarakat Kei itu sendiri.

"Kita harus bertanya: pembangunan untuk siapa? Dan dengan mengorbankan siapa?"

Apa yang Harus Dilakukan?

Pertama, pemerintah dan investor wajib menjamin keterlibatan perempuan dalam setiap proses pengambilan keputusan. Bukan sebagai pelengkap, tapi sebagai pemilik suara yang sah.

Kedua, penguatan kapasitas hukum dan organisasi perempuan adat menjadi penting agar mereka mampu menyuarakan haknya.

Ketiga, penegakan hukum dan pengawasan independen terhadap proyek-proyek pertambangan dan agribisnis harus diprioritaskan untuk mencegah pelanggaran berulang.

Penutup

Kebijakan pembangunan tidak boleh menjadi jalan pintas menuju ketimpangan dan perampasan hak. Kepulauan Kei membutuhkan model pembangunan yang berkeadilan gender, berpihak pada masyarakat adat, dan menghormati nilai-nilai lokal. Tanpa itu, kita hanya akan menyaksikan kehancuran yang dibungkus dalam nama kemajuan.

#SaveKeiBesar

#SuaraHatiPerempuanKei

Catatan: Opini ini ditulis oleh Fransina M. B. Rahaor, SH., MH., Akademisi FKIP Prodi PGSD Universitas Pattimura.