![]() |
JEJAK | Lintas-Pulau.com : Pagi itu, di sebuah desa terpencil di Kecamatan Kei Besar Utara Barat, Kabupaten Maluku Tenggara, suara riang anak-anak terdengar dari sebuah bangunan sederhana. Bukan gedung megah dengan cat yang indah dan pagar kokoh, melainkan ruangan berdinding papan, lantai pasir, tanpa pintu, tanpa jendela.
Inilah “SD Negeri Wairat” sekolah yang seolah berdiri di luar perhatian pemerintah.
Di usia kemerdekaan Indonesia yang sudah 80 tahun, ketika sebagian sekolah di kota-kota besar memiliki laboratorium modern, ruang komputer ber-AC, dan perpustakaan digital, anak-anak di Wairat masih belajar di ruang kelas yang bahkan tak bisa menahan hembusan angin laut.
Namun, semangat anak-anak itu tak pernah padam. Mereka datang dengan seragam sederhana, membawa buku lusuh, duduk bersila di atas pasir, mendengarkan guru yang dengan sabar mengajar.
Seorang murid kelas empat, sebut saja namanya Natan, pernah berkata lirih kepada gurunya.
“Ibu, kalau musim hujan dan angin, bolehkah saya tetap menulis di rumah? Tapi saya takut tidak bisa ikut pelajaran.”
Ucapan polos itu menjadi tamparan bagi siapa pun yang mendengarnya. Bagaimana mungkin di negeri yang berulang kali menggaungkan jargon "Pendidikan Merata", masih ada anak-anak yang belajar dalam kondisi seperti ini?
Di mana hati pemerintah?
SD Negeri Wairat adalah cermin ketimpangan pembangunan pendidikan. Sementara anak-anak di perkotaan bisa bermimpi menjadi dokter, insinyur, atau pilot dengan fasilitas modern yang mendukung, anak-anak di Wairat bahkan harus berjuang hanya untuk tetap duduk di sekolah dengan dinding papan tanpa pintu dan jendela, serta berlantai pasir.
Para guru di sekolah ini adalah pahlawan tanpa tanda jasa yang sesungguhnya. Mereka bertahan dengan segala keterbatasan, mengajar dengan kelengkapan apa adanya.
Namun semangat itu bisa padam jika negara terus abai.
Anak-anak SD Negeri Wairat tidak meminta sekolah mewah. Mereka hanya ingin sekolah yang layak tempat mereka bisa belajar dengan tenang, aman, dan nyaman.
Mereka ingin pintu yang bisa ditutup, jendela yang bisa melindungi, serta lantai yang bukan pasir.
Karena di balik keterbatasan itu, mereka menyimpan mimpi besar menjadi guru, menjadi perawat, menjadi pemimpin, yang suatu hari bisa kembali membangun pulau Kei Besar.
SD Negeri Wairat adalah jeritan sunyi dari ujung negeri. Sebuah pesan keras bahwa janji pemerataan pendidikan belum sepenuhnya nyata.
Dan mungkin, suatu hari nanti, ketika pemerintah benar-benar mendengar suara kecil mereka, sekolah ini akan berdiri megah. Namun sampai saat itu tiba, anak-anak Wairat tetap setia belajar di atas pasir dengan keyakinan bahwa ilmu adalah satu-satunya cahaya menuju masa depan.
Mereka belajar bukan untuk hari ini, tapi untuk masa depan yang lebih adil. Pertanyaannya, apakah negara akan hadir untuk mereka?